Archive for the ‘Harian Radar Bandung’ Tag

Lebih Dekat dengan Freddy Mudjiantono (4/4)

Tak Kuat di Dunia Hukum

SELEPAS SMA, Freddy Mudjiantono merantau ke Kota Kembang. Di tahun 1977 ia tinggalkan sang ibu tercinta dan Kota Apel untuk mengenyam bangku kuliah. Fakultas Hukum Unpar menjadi pilihannya menuntut ilmu. Selama merantau, Freddy menghidupi dirinya secara mandiri. Dengan temannya, ia mencoba memulai bisnis jual-beli kain. Saat itu ia membeli kain dari Pasar Baru untuk dijual ke pembeli di Surabaya. Kasarnya, selama kuliah ia menjadi ‘calo kain’ yang siap bolak balik Bandung-Surabaya.

Lulus kuliah tahun 1985, ia dan rekannya yang kebetulan juga bernama Freddy, mendirikan kantor pengacara bertempat di Dipati Ukur 76A. Tempat ini kini terkenal dengan nama Vilour Sport. Namun, Freddy & Freddy Associate, nama kantor tersebut, hanya bertahan selama satu tahun. Ia mengakui ketidakcocokan dirinya bekerja sebagai lawyer saat itu. Padahal, selama kuliah ia mengaku sangat menikmati belajar ilmu hukum. Ternyata, menurut Freddy, kenyataan di lapangan tidak serupa dengan apa yang ia pelajari di bangku kuliah.

“Saat itu susah untuk bertahan di dunia pengacara. Hukum kita ketika itu, tidak ditentukan oleh hukum, melainkan oleh individu-individu penguasa, dan uang,” sesalnya merujuk pada rezim Orde Baru.

Selain itu, tambahnya, ia mengakui dirinya kurang memiliki fighting spirit (semangat juang-red) yang teguh. Hal ini dipengaruhi pula oleh pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan yang Freddy alami ketika menjadi pengacara saat itu.

“Karena membayar dengan harga tinggi, klien-klien ketika itu mungkin merasa memiliki si pengacara. Akibatnya, tak jarang klien yang berbuat seenaknya. Contohnya, tengah malam menelepon atau mendatangi saya untuk membicarakan kasus. Jujur saja, mental saya tidak kuat menghadapi hal-hal seperti itu,” tandas pengusaha sukses yang diakui dunia internasional tersebut. (uwa/job-3)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada rubrik Tokoh, Minggu, 26 Februari 2006.

Lebih Dekat dengan Freddy Mudjiantono (3/4)

Sempat Ditolak Karena Tak Anti-Racun

TAK banyak yang tahu bahwa Vilour juga bergerak di bidang industry kayu. Awalnya, seorang teman Freddy dari Palu membawa sebongkah kayu ebony. Melihat kayu yang memiliki tekstur indah itu, ia langsung jatuh hati.

Ebony merupakan satu-satunya kayu yang berat jenisnya melebihi berat jenis air sehingga ebony tidak akan muncul di permukaan air. Keistimewaan inilah, yang kemudian menuntun Freddy terjun ke bisnis industri kayu.

Desember 1998, terciptalah Vilour divisi kayu di Gunung Batu, Cimahi. Sedangkan showroom meubelnya sendiri berada di kawasan Gegerkalong Bandung, satu gedung dengan perusahaan country milik Freddy dan Tantowi Yahya, PT Adjani Cipta Usaha. Vilour divisi kayu tersebut, diakui Freddy, telah memiliki kantor cabang di Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan Pekanbaru.

Salah satu produk andalan Vilour divisi kayu adalah ihai, dan merupakan satu-satunya produk Vilour yang diekspor ke luar Indonesia, yakni Jepang. Ihai adalah papan nama layaknya nisan yang biasa digunakan penganut agama Shinto saat mendoakan kerabatnya yang telah meninggal dunia.

Ide memproduksi ihai, menurut Freddy, muncul saat seorang tamu dari Jepang datang padanya seraya membawa ihai dan mencari kayu yang cocok sebagai bahan dasar ihai. Saat itu, di benaknya hanya kayu ebony yang terpikir akan cocok dan disukai konsumen dari Jepang.

Dengan mempekerjakan tukang ukir dari Jepara, Freddy membuat dan mengirimkan 500 buah ihai ke negara sakura tersebut. Namun, setelah sampai ke Jepang, mereka menolak dan langsung mengembalikan ke Indonesia. Kerugian Vilour saat itu mencapai 30 juta rupiah.

“Pasalnya, mereka menginginkan pelapis ihai yang anti-racun. Terlebih saat mendoakan kerabat yang meninggal, air mata sering jatuh pada permukaan ihai dan memunculkan reaksi kimia tertentu,” tutur Freddy yang tidak menyesalkan kerugian tersebut karena baginya, hal itu merupakan pembelajaran yang sangat berharga bagi kelangsungan produksi ihai selanjutnya.

Setelah kejadian itu, Freddy merombak habis 500 ihai yang dikembalikan tersebut, dan melakukan finishing touch sesuai keinginan konsumen Jepang. Hasilnya, sampai saat ini Vilour mengirim lebih dari seribu buah ihai ke Jepang setiap bulannya.

“Kami memproduksi 12 grade ihai yang disesuaikan dengan tingkat ekonomi warga Jepang. Di sana, pilihan ihai menentukan kondisi ekonomi pembelinya. Semakin kaya seseorang maka ihai yang dipajang akan semakin bagus dan mahal. Otomatis, tekstur ebonynya semakin indah,” tutur mantan pengacara ini. (uwa/job-3)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada rubrik Tokoh, Minggu, 26 Februari 2006.

Lebih Dekat dengan Freddy Mudjiantono (2/4)

Si Pecinta Musik Country

Jangan heran bila sosok Freddy Mudjiantono tertangkap di layar televisi. Terutama pada acara hiburan yang membawakan musik country di sebuah stasiun televise negeri. Pasalnya, suami Esther Suryani ini menggemari musiknya para cowboy ini sejak duduk di bangku SMP.

Freddy tak puas dengan hanya menjadi penikmat country. Bersama entertainer kondang Tantowi Yahya, ia mendirikan perusahaan yang bergerak di seputar musik country, bertempat di kawasan Gegerkalong Bandung. Dimulai tahun 2002 lalu, bernaung di bawah bendera PT Adjani Cipta Usaha, mereka menggeluti bisnis jual-beli baju, sepatu, dan asesoris bernuansa country serta cowboy.

Tak hanya sampai disitu kecintaan seorang Freddy terhadap musik khas Amerika tersebut. Bulan Agustus tahun lalu, ia membangun kafe Rumah Payung di daerah Bandung Utara. Rencananya, ia ingin membuat sebuah country club, untuk menampung komunitas pecinta country.

“Namun, saya rasa itu terlalu eksklusif. Karenanya, saya mengalihkan sasaran. Saya membidik mahasiswa sebagai customer yang potensial. Ini karena kafe-kafe berpemandangan bagus dengan harga makanan yang murah sedang menjadi trend di kalangan mahasiswa Bandung,” ungkap ayah dari tiga anak ini.

Alih-alih membangun sebuah country club, Freddy memilih untuk membangun galeri country. Pembangunan galeri yang juga bertempat di wilayah Rumah Payung tersebut, ia harapkan akan selesai bulan Maret mendatang.

“Selain itu, saya merencanakan acara hiburan musik country di Rumah Payung ini. Seminggu sekali akan ada live music country dan sebagian lantai kafe akan diatur menjadi lantai dansa,” ujarnya bersemangat. (uwa/job-3)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada rubrik Tokoh, Minggu, 26 Februari 2006.

Lebih Dekat dengan Freddy Mudjiantono (1/4)

Bermula dari Kaos Cama-Cami

Siapa yang tak kenal Vilour Sport? Seorang Zaenal Arif, striker Persib Maung Bandung, tentunya mengenal label di balik kaos tim andalannya. Bahkan, sang Paolo Maldini mengenakan Vilour saat bertanding untuk negaranya, Italia, pada pesta sepakbola Piala Dunia 1998 lalu.

Tak sedikit yang terkecoh, meyakini Vilour Sport merupakan produk dari luar tanah air. Padahal, penciptanya adalah anak bangsa yang dengan gigih merintis dari nol untuk mencapai sebuah kesuksesan.

Bagaimana seorang Freddy Mudjiantono mengantarkan nama Vilour Sport ke dunia internasional? Untuk mengenal lebih dekat sosok sarjana hokum ini, penulis telah mewawancarainya di kafe miliknya di daerah Bandung Utara, Rumah Payung, Rabu (22/2) lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Background pendidikan Anda adalah hokum, bagaimana bisa terjun ke bidang konveksi?

Selepas SMA, saya memutuskan untuk kuliah di Bandung. Ketika itu, ayahanda baru meninggal dunia. Karenanya saya merantau dengan bertekad bisa membiayai hidup diri sendiri. Tahun 1977 saya memulai hidup sebagai mahasiswa Hukum Universitas Parahyangan (Unpar).

Setelah setahun kuliah, saya diajak bisnis oleh rekan saya, Lucas Budiono. Kami menjadi calo kain yang harus siap bolak-balik Bandung-Surabaya. Ketika itu, saya baru mengetahui bahwa Bandung memiliki sentra kain murah yang berjualan kain per kilo di Pasar Baru.

Karena saya dikenal sebagai calo kain itulah, ketika kampus mengadakan ospek, saya ditunjuk untuk mengurus kaos untuk calon mahasiswa-calon mahasiswi (cama-cami). Saya ditugaskan membuat 500 potong kaos berwarna merah (simbol warna jurusan Hukum Unpar-red) untuk 430 cama-cami dan panitia ospek.

Kebetulan, di depan kos saya di Jalan Bungsu, berdiri pabrik kaos. Saat itu kaos yang bermodalkan Rp. 600,- saya jual dengan harga Rp. 900,-. Jumlah tersebut melebihi uang sewa kost saya yang sebesar Rp. 3000,- per bulan.

Setelah itu, bagaimana Anda merintis perusahaan konveksi yang kini menjadi dikenal dunia internasional?

Tahun 1983 saya mencoba mengontrak tempat usaha, bertempat di jalan Dipati Ukur 76A. Ketika itu saya masih kuliah. Karenanya, saya hanya mampu membeli dua buah mesin jahit bekas, dan menggaji dua pegawai. Saya pun sering turun tangan pada proses pemotongan kaos.

Setelah menikah pada tahun 1984, saya mulai serius menekuni bisnis ini. Karenanya, setelah lulus kuliah pada tahun 1985, saya mendirikan sebuah badan hokum bernama CV Kartika. Di bawah bendera CV Kartika, saya mendapat order-order besar diantaranya dari Pindad, Telkom, Krakatau Steel, serta Pos dan Giro. Bahkan PJKA (kini PT. KAI) mempercayakan saya menyediakan kaos pegawai selama lima tahun berturut-turut.

Awal mulanya Vilour Sport?

Selama beberapa tahun, saya belum terpikir untuk memberikan merk pada produk saya. Namun saya sadar, produk saya belum dikenal banyak orang karena tidak berlabel. Karenanya, pada tahun 1987 saya membuat label ‘Visi Laurencia’ yang bermakna ‘kemenangan orangtua’.

Namun teman saya Tony Iskandar memberi masukan agar mengubah merk tersebut karena pengejaannya cukup sulit. Maka, untuk menyederhanakan ‘Visi Laurencia’, terciptalah Vilour pada tahun 1988.

Di bawah label Vilour, perusahaan semakin berkembang. Pada tahun 1995, akhirnya saya dapat mendirikan PT Vilour Promo Indonesia dengan kepemilikan saham tunggal.

Saat krisis moneter melanda Indonesia, perusahaan Anda tetap bisa bertahan. Apa kiat Anda mengatasi krisis kala itu?

Sebenarnya saya sempat khawatir atas kelangsungan hidup perusahaan kala itu. Saat krisis tahun 1997, perusahaan-perusahaan besar seperti Astra dan Good Year berhenti meng-order. Apalagi perusahaan menengah ke bawah. Saat itu, yang paling mengganggu pikiran saya adalah nasib para karyawan saya yang telah mencapai 400 orang. Saya tidak mungkin memberhentikan mereka.

Kebetulan pula, seorang teman yang berasal dari Italia, memberi saya jalan yang kelak menyelamatkan perusahaan saya. Ia adalah Prabutio Forlanine, konglomerat di Milan yang memiliki sebuah Department Store di Indonesia.

Ketika itu, ia melihat produk-produk Vilour dan menilai bahwa kualitas Vilour tidak kalah dengan kualitas kaos di negaranya. Dengan bantuan Forlanine, pihak Nike sebagai sponsor kesebelasan Italia tertarik pada Vilour dan akhirnya memberikan lisensi pada saya.

Tidak tanggung-tanggung order yang saya dapatkan ketika itu. Nike memesan 22.000 stel untuk pesta sepakbola Piala Dunia 1998 di Perancis. Jelas, keberhasilan ini sangat mempengaruhi perusahaan, baik secara financial maupun konseptual. Selain kebanggaan yang tidak terkira karena produk saya bisa menembus salah satu negara Eropa, juga terselamatkannya para karyawan Vilour.

Anda mengatakan, keberhasilan mengatasi krismon mempengaruhi perusahaan secara konseptual. Maksudnya?

Sejak awal perusahaan berdiri, kami mempunyai misi sebagai perusahaan advertising material promotion. Jadi, kami hanya menerima order sebagai media promosi, misalkan membuat kaos panitia saat suatu perusahaan menyelenggarakan kegiatan. Namun, setelah mendapat order kaos tim kesebelasan Italia, saya jadi membuka peluang sebesar-besarnya untuk membuat kaos tim sepakbola.

Karena itu, Vilour kini mensponsori Persib?

Sebelum mempercayakan kaos tim pada Vilour, Persib telah menggunakan label mancanegara. Saat itu saya terus menerus berpikir, mengapa saya bisa menembus Italia, tapi kok kesebelasan lokak harus disponsori oleh produk luar?

Saat itu, kalau tidak salah tahun 2001, Persib masih di bawah binaan Bapak Aa Tarmana. Melalui manajer Persib saya mengutarakan pikiran saya tersebut. Setelah mereka melihat produk Vilour, akhirnya saya dipercaya untuk menyediakan kaos tim, sepatu, sampai asesoris Persib.

Adakah target Vilour Sport di masa depan?

Selain masih menangani kaos tim Persib, tahun ini kami juga dipercaya untuk menyediakan kaos tim bagi Persebaya, Persikab, dan PSPS Pekanbaru. Sementara itu, target jangka panjang Vilour Sport yakni menembus Asia, terutama Jepang, Malaysia, dan Thailand. (uwa/job-3)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada rubrik Tokoh, Minggu, 26 Februari 2006.

Ricky Zuardi, Jajaka Cimahi yang Ingin Jadi Penulis Novel (2-Habis)

Ricky Zuardi, Jajaka Cimahi yang Ingin Jadi Penulis Novel (2-Habis)

Nyukcruk Galur’ Aditya Mulya, Semangat Bikin Novel Sendiri

Saluyu Ngawangun Jati Mandiri. Slogan Kota Cimahi yang terlontar dari mulut Ricky Zuardi, menghantarkannya untuk menyandang predikat Juara I Jajaka Kota Cimahi 2005. Prestasi dan karir pria berkulit putih ini di kancah modelling, baik sebagai model maupun instruktur agensi dan koreografer, tidak lantas membuatnya puas. Apa rencana Ricky selanjutnya?

Laporan Ilham Primadianti & Hadi Wibowo

POSTUR tubuhnya proporsional. Wajar bila banyak yang menganggap, ia melakoni serangkaian latihan fisik demi membentuk tubuh yang ideal. Namun ternyata, pemilik tinggi tubuh 177 sentimeter dengan berat badan 70 kilogram ini tidak secara rutin berolahraga.

“Sebelum pindah ke Jakarta, saya memang rutin bermain basket dan fitnes. Tapi sejak menetap dan bekerja di Jakarta, saya tidak sempat berolahraga secara rutin. Untuk itu, saya beralih menjadi vegetarian,” ungkapnya saat ditanya bagaimana menjaga agar tubuh tetap bugar.

Pilihannya menjadi vegetarian sempat mempersulitnya saat dikarantina untuk menghadapi Pasanggiri Mojang Jajaka Cimahi, tahun 2005.

“Agak menyulitkan bagi saya karena saat karantina, makanan yang tersedia semuanya daging,” ungkap pemuda yang membuka usaha rumah makan ini.

Pekerjaan sebagai instruktur agensi, telah dilakoninya sejak lima tahun lalu. Profesi koreografer pun pernah dirambahnya. Namun, ternyata itu belum cukup bagi seorang Ricky.

“Menjadi penulis novel adalah keinginan terbesar saya saat ini,” tutur pemuda penggemar novel-novel karya Adhitya Mulya.

Ambisinya kian meluap saat dirinya mengikuti casting pemeran “Olip” pada film “Jomblo”, sebuah film karya sutradara muda Hanung Bramantyo. Film ini diadaptasi dari novel Adhitya Mulya dengan judul yang sama.

Kendati gagal lulus casting, Ricky malah semakin bersemangat menerbitkan novel hasil karyanya. “Saya mengangkat cerita bertemakan komedi cinta. Mudah-mudahan paling lambat bulan depan, akan saya ajukan ke penerbit,” tutur pemeran pendukung sinetron “Saras 008” dan “Model Impian” ini.

Selain menjadi penulis novel, target Ricky selanjutnya adalah berakting di layar perak dan mengembangkan band musiknya dimana ia menjadi sang vokalis.

“Tahun ini, saya ingin menyelesaikan kuliah. Karena sempat cuti lama, saya harus mengajukan judul baru untuk skripsi,” tandas mahasiswa Teknik Industri Universitas Padjadjaran (Unpas) ini.(**)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada suplemen 100% Cimahi, Kamis, 16 Februari 2006.

Ricky Zuardi, Jajaka Cimahi yang Ingin Jadi Penulis Novel (1)

Ricky Zuardi, Jajaka Cimahi yang Ingin Jadi Penulis Novel (1)

Tak Terpikir Jadi Model, Sebelumnya Pemain Basket

Jawara Jajaka Kota Cimahi tahun 2005 ini telah menggeluti dunia model sejak kelas 2 SMA. Padahal, menjadi seorang model tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kini, ia merambah ke balik panggung menjadi instruktur model agensi sekaligus koreografer. Apa yang dilakukannya?

Laporan: Ilham Primadianti & Hadi Wibowo

KALEM. Itulah kesan yang tertangkap dari sosok Ricky Zuardi. Putra kedua dari pasangan H Acep Sutendi (alm) dan Hj. Elly Sutriati ini menuturkan, ambisinya ketika masih remaja adalah bermain basket. Namun sang Ibu melihat bakat dan potensi Ricky di bidang lain.

Pada 1999, Hj Elly mendaftarkannya ke Sena Modelling School. Sebuah sekolah model yang bermarkas di daerah Cibeureum. Ketika itu, pemuda kelahiran 19 September 1982 ini masih duduk di bangku SMA.

Tak disangka, pada tahun itu pula Ricky berhasil lolos sebagai finalis Coverboy sebuah majalah terkemuka di Indonesia. Selanjutnya, berbagai tawaran show dan modelling membanjirinya. Aktivitas yang semakin padat itu membuat pemuda berkulit putih ini mengundurkan diri dari keanggotaan Klub Hartec, klub basketnya saat itu.

Berbagai iklan produk telah ia bintangi. Meski sebagai pemeran pendukung, dunia sinetron pun telah dirambahnya. Terlebih lagi, pemuda pemilik nama asli Ricky Agung Satiadi ini tertarik menjadi instruktur agensi model.

Pada 2001, ia mulai menikmati pekerjaannya di Sena Modelling School. Selain menjadi instruktur agensi model di sekolah yang mengembangkan potensinya itu, ia juga menjadi koreografer di Arvi Modelling School, Jakarta.

Kesibukan di dunia entertainment tentunya membuat pemilik tinggi badan 177 sentimeter ini merasa perlu menentukan prioritas. “Jarak Bandung-Jakarta yang jauh, cukup menghambat aktivitas saya. Karena itu, tahun lalu saya memutuskan untuk cuti kuliah dan pindah ke Jakarta,” ujar mahasiswa Teknik Industri Universitas Pasundan (Unpas) ini.

Sepulangnya dari ibukota, Ricky iseng mendaftarkan diri ke Pasanggiri Mojang-Jajaka Kota Cimahi. Padahal, hari itu merupakan hari terakhir pendaftaran. Tak disangka, ia berhasil menjadi juara pertama Jajaka Kota Cimahi tahun 2005.

Apa yang membuat alumni SMAN 1 Cimahi ini memenangkan pasanggiri? Ternyata, dari tiga besar finalis, hanya Ricky yang dengan cepat menjawab pertanyaan dari walikota Cimahi tentang slogan Kota Cimahi, Ngangawung Jati Mandiri. (bersambung)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada suplemen 100% Cimahi, Rabu, 15 Februari 2006.

Tak Perlu Kursus Mahal untuk Jadi Penyanyi

Tak Perlu Kursus Mahal untuk Jadi Penyanyi

Cukup Tak Makan Gorengan, Minum Air Asem dan Embun

Siapa bilang untuk menjadi seorang juara lomba menyanyi, harus belajar vokal di tempat kursus yang mahal? Yayang buktinya. Remaja berusia tiga belas tahun ini cukup belajar dari pelajaran seni musik yang diterimanya di sekolah. Selebihnya, ia melatihnya di rumah. Selain itu, siswa yang kini duduk di bangku kelas 7 SMPN 9 Kota Cimah ini juga kerap terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler seni musik di sekolahnya.

Laporan Ilham Primadianti

PERAN orangtua pun, tentu saja merupakan aspek yang sangat mendukung prestasinya. Ayahnya Nanang Dikdik Sodikin yang piawai dalam dunia seni teater, turut mengajarkan teknik penguasaan panggung, sedangkan sang Ibu bertugas mengurusi kostum panggung Yayang.

Namun yang terpenting, agar tidak demam panggung ia selalu berdoa sebelum tampil. Hal tersebut diakuinya agar lebih tenang dan dapat mengontrol suara. Saat ditanya tentang jenis lagu yang biasanya ia bawakan, dengan tersipu malu anak semata wayang ini menjawab pop dan dangdut.

Prestasi gadis yang menggemari mata pelajaran Bahasa Indonesia dan seni teater ini, patut diacungi jempol. Terakhir, dari dua puluh enam peserta Yayang berhasil menjadi juara II untuk kategori Lomba Menyanyi Solo pada acara “Januari Gelar Prestasi”, yang digelar 7 Januari lalu.

Tentang keberhasilannya itu, Yayang mengaku bahwa sebelumnya hanya berlatih selama dua hari. Namun, sehari-harinya ia terbiasa dengan meminum air asem dan air embun. Selain itu, ia juga menghindari makanan berminyak, sehingga suaranya bisa tetap fit, walaupun dipaksa menyanyi mendadak.

Ditanya soal cita-cita, gadis berambut panjang ini menjawab ingin menjadi penyanyi. “Tapi tidak sembarangan, saya ingin menjadi penyanyi sekelas Siti Nurhaliza,” tutur gadis penyuka cokelat ini. Cita-citanya ini didukung penuh oleh pelatih teaternya, Hendra Gunawan.

“Saya selalu menerapkan prinsip bahwa untuk menjadi seorang entertainer, tidak perlu tampil secara vulgar. Jangan sampai kalau menyanyikan lagu dangdut lalu terlihat norak,” ujar Hendra yang berpendapat bahwa performance dan olah pernafasan yang diajarkan di teater sangat membantu bagi mereka yang belajar vokal.

Hendra pun kerap mengingatkan kepada Yayang, jangan mudah tergiur tawaran-tawaran dari agen-agen pencari bakat. Sebab, pernah ada penipuan yang dialami salah seorang murid SMPN 9 yang ingin sukses dalam bidang hiburan dengan cara cepat. (**)

*Feature dimuat di Harian Radar Bandung, pada suplemen 100% Cimahi, Jumat, 3 Februari 2006.

Takut Terjadi Intimidasi

Takut Terjadi Intimidasi

Buruh Minta Notulen ke Komisi D

JL GATOT SUBROTO—Notulen hasil kesepakatan antara buruh dan pihak manajemen PT Korin Garmentama pada 27 Januari lalu, tak kunjung diterima pihak buruh. Kemarin, sepuluh buruh yang diintimidasi ditemani dua pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) mendatangi Komisi D DPRD Kota Cimahi untuk menagih janji.

Namun, kedatangan mereka tidak dihadiri seluruh jajaran Komisi D. Mereka hanya diterima salah seorang anggota Komisi D, H. Reddy Hidayat. Mereka berharap, notulen tersebut bisa mereka terima paling lambat hari ini. Mengingat salah satu dari tuntutan buruh PT Korin yang disetujui pihak perusahaan adalah tidak adanya intimidasi, terutama kepada 10 buruh yang diskorsing.

Senin (6/2) mendatang, masa skorsing bagi 10 buruh, berakhir. Padahal, notulen tersebut merupakan jaminan agar tidak ada lagi intimidasi yang mereka alami saat bekerja kembali.

Kekhawatiran buruh tersebut tampak dari penolakan atas perundingan bipartite antara buruh dengan pihak pengusaha, yang diundur dari jadwal semula yakni Rabu (1/2) menjadi Kamis (2/2). Mereka menganggap Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil (Disnakerdukcapil) memutuskan secara sepihak pengunduran tersebut, dengan alasan yang tidak jelas.

“Dewan mengarahkan agar para buruh tetap percaya diri karena hasil dari rapat 27 Januari lalu, sudah jelas dan tuntas. Dari pihak perusahaan pun, telah menyatakan bahwa Maret mendatang, pembayaran gaji akan normal kembali,” ungkap Reddy saat ditemui wartawan di ruang kerjanya, kemarin.

Makanya, lanjut Reddy, pihak pengusaha berharap aksi mogok kerja tidak berlanjut sampai Maret. Karena, itu akan mengakibatkan buyer menjadi ragu-ragu untuk memberikan order. “Padahal, untuk memenuhi tuntutan gaji agar kembali normal, perusahaan menggantungkan harapan pada order tersebut,” jelasnya.

Reddy menyatakan, keinginan buruh dan jawaban dari perusahaan telah disepakati dan dituangkan dalam notulen tersebut. Jadi, sebagian dari delapan tuntutan buruh disanggupi pihak pengusaha.

Sementara itu, Wakil Ketua SPN Kota Cimahi, Suhartono, membenarkan bahwa keengganan mereka menghadiri perundingan bipartite, diantaranya karena mereka belum merasa terjamin bebas dari intimidasi perusahaan. Apalagi, jadwal perundingan bipartite tersebut diundur satu hari dan direncanakan digelar di perusahaan PT. Korin.

“Mereka justru menginginkan agar perundingan dihadiri pula oleh anggota Dewan dan Disnakerdukcapil sebagai penengah dan pemberi saran. Atau, setidaknya perundingan dilakukan di tempat yang netral, bukan seperti yang dijadwalkan yakni di perusahaan PT Korin,” pungkasnya. (job-3)

*Berita dimuat di Harian Radar Bandung, pada suplemen 100% Cimahi, Jumat, 3 Februari 2006.

AKPR Goyang Pemkot dan Dewan

AKPR Goyang Pemkot dan Dewan

JL GATOT SUBROTO—Kaum buruh, mahasiswa, dan pedagang kaki lima (PKL) kemarin menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kota Cimahi dan Kantor Pemkot Cimahi. Pada pukul 11.30, mereka yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan untuk Kesejahteraan Rakyat (AKPR) ini menggelar orasi di pelataran DPRD Kota Cimahi. Dalam orasinya itu, mereka menyampaikan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang diterapkan Pemkot terutama mengenai upah buruh kota Cimahi yang hanya Rp 715 ribu.

Kaum Buruh Cimahi yang diwakili Ketua Front Nasional Perserikatan Buruh Indonesia (FNPBI) cabang Kota Cimahi, Halomoan Aritonang itu, menuntut kepada pemkot untuk memberlakukan upah layak bagi kaum buruh Kota Cimahi yakni sebesar Rp 819.487,-. Selain itu, mereka meminta agar dihapusnya sistem buruh kontrak dan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Upah Buruh Cimahi 2006.

Tuntutan khusus yang disampaikan kepada dewan adalah agar menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dengan cara mengeluarkan surat keputusan penolakan kenaikan TDL kepada legislatif pusat.

Mereka juga menuntut agar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dialokasikan sebagai subsidi pendidikan. Jika tuntutan-tuntutan tersebut tidak dipenuhi pihak eksekutif maupun legislatif, mereka mengancam akan melakukan aksi-aksi dengan melibatkan massa yang lebih besar.

Orasi yang dipimpin Halomoan Aritonang dari FNPBI ini, dimulai dari datangnya konvoi sekitar dua puluh sepeda motor yang berangkat dari Jalan Kawimekar sejak pukul 11.00 WIB. Turut pula dalam orasi yang hanya disambut beberapa anggota DPRD ini, Sabilar Rosyad dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Bandung Raya dan Hardi dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Unjani Cimahi.

Pihak aparat keamanan sendiri telah mengantisipasi keadaan dengan menempatkan personelnya di sekitar gedung dewan. Massa dari kaum buruh yang rencananya akan datang dengan long march pun, tidak juga tampak sehingga APKR menutur orasi dan membubarkan diri sekitar pukul 13.00 WIB. (job-3)

*Berita dimuat di Harian Radar Bandung, pada suplemen 100% Cimahi, Jumat, 3 Februari 2006.

Yang Penting Insting

Yang Penting Insting

Tingkat Pendidikan dan Modal Tidak Menjamin Keberhasilan.

DIPATI UKUR—Memulai bisnis tidak harus bermodal besar atau tingkat pendidikan yang tinggi. Itu semua tidak akan mampu menberikan jaminan akan keberhasilan usaha. Datangnya keberhasilan lebih banyak ditentukan oleh insting usaha itu sendiri. Insting itulah yang akan membimbing untuk melakukan analisis pasar.

Begitu kata Setyanto P Santosa, Dosen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Padjadjaran, pada talk show kewirausahaan di Ruang Serba Guna Ekstensi FE Unpad, kemarin (1/2). Pada acara yang mengusung tema “How to Become Great Potential Bussiness” ini Setyanto mengaku kerap menemukan kekeliruan pada mereka yang pertama kali membuka usaha.

Menurutnya, pendatang baru dunia usaha kerap menghabiskan biaya untuk menyiapkan ruang kantor dan dekorasi. Tidak hanya itu, biaya juga banyak tersedot saat upacara pembukaan usaha. Setyanto menegaskan, semuanya itu harus dihindari agar awal bisnis tidak dibebani biaya umum yang terlalu tinggi.

Dalam talk show-nya, Setyanto banyak membahas tentang unsur-unsur yang ada dalam kewiraswastaan strategis (strategic entrepreneurship). Dalam, kewiraswastaan strategis ini, kata dia, tingkat pendidikan formal pelaku bisnis tidak menjadi penentu utama. Hal ini karena menurut penelitian yang dilakukan Charles Schreiber, keberhasilan seseorang dalam dunia usaha 85 persen ditentukan oleh nilai sikap mental atau kepribadiannya. Sedangkan 15 persen sisanya oleh pendidikan sekolah formal.

Insting kewiraswastaan, menurut Setyanto, diutamakan bagi seorang wiraswasta agar usahanya berhasil. Unsur brain, yakni pengetahuan kerja tentang usaha yang akan dirilis. Dan, capital atau modal yang cukup minimal untuk tahun pertama, merupakan faktor yang sama pentingnya untuk keberhasilan bisnis.

Dalam acara yang dihadiri oleh para wiraswasta Usaha Kecil Menengah (UKM) di Bandung ini, Setyanto juga menyampaikan kepeduliannya terhadap UKM yang berkembang di Bandung Metropolis. Menurutnya, dalam skala UKM, penerapan manajemen strategis tentunya akan lebih sederhana, terutama unsur-unsur visi, mengenali diri sendiri SW (strength and weakness) serta memperoleh gambaran tentnag kondisi pasar atau OT (opportunity and threats).

Analisis SWOT dilakukan untuk menginventarisasi kekuatan dan kelemahan pelaku bisnis, khususnya yang terkait dengan mental dan kemampuan atau keterampilan. Gambaran tentang kondisi pasar pun harus disiapkan, misalnya produk atau jasa apa yang akan ditawarkan, dan bagaimana kebutuhan pasar serta siapa pesaing yang harus dihadapi.

Menurut Setyanto, hambatan berkembangnya UKM di Bandung diantaranya masalah modal. Padahal, pemilik UKM dapat mengajukan permohonan bantuan pinjaman modal di bawah Rp 100 juta kepada BUMN-BUMN besar di Bandung. Ini erat kaitannya dengan kewajiban mereka untuk menyalurkan 3 persen dari laba bersihnya untuk membantu UKM. Sedangkan untuk pinjaman modal di atas Rp 100 juta, pemilik UKM dapat mengajukannya kepada Badan Permodalan Madani. (job3)

*Berita dimuat di Harian Radar Bandung, Kamis, 2 Februari 2006.